10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 15

10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke 15:

kusala

10 PROSA:
1. Dorothea Rosa Herliany: Isinga (Roman Papua) (Gramedia Pustaka Utama, 30 Desember 2014)
2. Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni (Gramedia Pustaka Utama, 15 Juni 2015)
3. Damhuri Muhammad: Anak-Anak Masa Lalu (Kumpulan Cerpen, Marjin Kiri, Juni 2015)
4. Ratih Kumala: Bastian dan Jamur Ajaib (Kumpulan Cerpen, Gramedia Pustaka Utama, Februari 2015)

5. Remy Silado: Perempuan Bernama Arjuna 3: Javanologi dalam Fiksi (Nuansa Cendekia, April 2015)
6. Laksmi Pamuntjak: Aruna dan Lidahnya (Gramedia Pustaka Utama, 13 November 2014)
7. Mahfud Ikhwan: Kambing dan Hujan: Sebuah Roman (Bentang Pustaka, Juni 2015 )
8. Eka Kurniawan: Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Kumpulan cerpen, Bentang Pustaka, Maret 2015)
9. Agus Noor: Cerita Buat Para Kekasih (Kumpulan Cerpen, Gramedia Pustaka Utama, November 2014)
10. Benny Arnas: Cinta Tak Pernah Tua (Kumpulan Cerpen, Gramedia Pustaka Utama, September 2014)

10 PUISI:
1. Korrie Layun Rampan: Dayak! Dayak! Dimanakah Kamu? (Yrama Widya, Januari 2015)
2. Esha Tegar Putra: Dalam Lipatan Kain (Motion Publishing/Kata Bergerak, Maret 2015)
3. Joko Pinurbo: Surat Kopi (Motion Publishing, Agustus 2014)
4. Triyanto Triwikromo: Kematian Kecil Kartosoewirja: Sehimpun Puisi (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2015)
5. Afrizal Malna: Berlin Proposal (Nusa Cendekia, Juni 2015)
6. Kris Budiman: Sesudah Ekskavasi (Leutika Prio, April 2015)
7. M. Aan Mansyur: Melihat Api Bekerja (Gramedia Pustaka Utama, 15 April 2015)
8. Kiky Sulistiyo: Penangkar Bekisar (Nuansa Cendekia, April 2015)
9. Radhar Panca Dahana: Manusia Istana: Sekumpulan Puisi Politik (Penerbit Bentang, Maret 2015)
10. Waluyo Ds: Kwatrin untuk Kekasih (Kosa Kata Kita, April 2015)

Roman Semesta dan Segala yang Dituliskannya

Menulis itu berbagi. Berbagi rasa, berbagi sapa, dan berbagi cerita.

 “Roman Semesta” berbicara tentang dunia yang melingkupi kita. Dunia yang khas. Dunia yang menampung ragam kisah dengan semua unsur adalah tokohnya. Ada waktu kita tidak tahu benar peran kita sebagai tokoh yang menyusun kisah-kisah tersebut. Atau barangkali lupa. Ketidaktahuan dan kelupaan inilah yang sering menggoyangkan keseimbangan semesta. Maka terbit perang, penjajahan, penghancuran, pengrusakan, penghianatan, dan segala yang menimbulkan resah.

“Roman Semesta” di sini tidak juga pada posisi ingin memberantas ketidaktahuan dan kelupaan tadi. Sebagaimana takdir sebuah puisi, “Roman Semesta” adalah cermin tempat kita dapat melihat diri sendiri dan segala yang berkelindan di sekitar. Adalah juga kristalisasi dari keinginan penulis untuk berbagi rasa, sapa, dan cerita. Maka di dalamnya banyak unsur yang diberi kesempatan untuk bicara. Ada banyak tokoh di luar semesta diri sendiri yang perlu kita kenal, perlu kita sapa, dan bahkan mungkin perlu kita bersatu dengannya.

Seperti pula takdir sebuah roman, sehimpun puisi ini tentu tak lepas dari eksistensi cinta dan segala yang menyertainya. Semua ditulis dalam kerangka refleksi. Kita mencerminkan semesta, dan semesta mencerminkan kita. Begitulah kira-kira. Kita hanya perlu percaya, puisi akan bekerja dengan caranya sendiri.

Fitrawan

Judul                     : Roman Semesta
ISBN                     : 978-602-70054-1-9
Penulis                 : Fitrawan Umar
Penerbit                : Motion Publishing
Cetakan Pertama : April 2014
Jumlah Halaman  : viii + 84 halaman, BW
Jenis Cover          : Soft Cover
Dimensi (P x L)    : 145 X 210 mm
Kategori                : Sastra/puisi
Harga                   : Rp. 48.000 (bonus CD mini album SeLsA)

Fitrawan Umar kelahiran Pinrang Sulawesi Selatan, 27 Desember 1989. Beberapa karyanya esay, cerpen, dan puisi pernah dimuat di sejumlah media cetak dan antologi: Sepotong Coklat dan Cerita-Cerita yang Lain (2012); Merentang Pelukan (2012); Dunia di Dalam Mata (2013); Wasiat Cinta Penyair Makassar (2013); Trough Darkness To Light (2013); Journal The Indonesian Literary Quarterly (2014).

Terpilih sebagai penulis undangan Ubud Writers and Readers Festival 2013. Sekarang ini aktif mengelola Majalah Sastra Salo Saddang-komunitas penulis Pinrang dan sedang menyusun tesis program pascasarjana ilmu lingkungan Universitas Gajah Mada.

RESENSI:

1. Roman Semesta: Mengungkap Syair, Rasa, dan Semesta Fitrawan Umar oleh Aida Radar

2. Roman Semesta: Sosio Ekologis Dalam Satra oleh M. Nursam (Harian Fajar, 10 Agustus 2014)

Aku Ingin Berhenti Menulis Puisi

Jika mau jujur tak ada yang suka bekerja. Semua pilih berleha-leha tapi uang terus ada. Aku pikir dahulu manusia tak lahir untuk bekerja, hanya mendapat mandat menjaga bumi dan segala isinya. Tapi manusia-manusia tetap berperilaku sia-sia. Lalu Tuhan murka, dan bekerja adalah kutukan.

Sebagai bakal pria dalam artian sebenarnya, sedari kecil aku sudah diajari Ayah cara bekerja. Entah bertani atau berniaga. Datangnya nafkah harus masuk akal, juga halal. Dan puisi memilihku, ia memberiku pekerjaan. Tetapi dalam bekerja selalu ada kejenuhan. Aku membenci diksi bermental penjilat yang hanya bermanis laku ketika ketakutan mendekat. Aku letih harus lembur dan menulis tepat waktu. Aku malas membereskan dokumen-dokumen kecemasan yang berserakan.

Kepenyairan adalah pekerjaan serius. Sebab saban hari tugasnya hanya bermain-main dengan kegelisahan. Aku sering ditugaskan ke negeri-negeri kesunyian hingga tak sempat pulang rumah dan kehilangan kesempatan makan masakan Ibu. Aku sering lembur bersama rekan-rekan sepi hingga mengorbankan waktu menonton sepakbola bersama ayahku.

Puisi memang tak membuatku jadi orang yang baik. Tapi bukankah puisi juga yang membuat ayah-ibuku tahu besarnya usahaku untuk jadi anak berbakti? Puisi memang tak membuatku jadi orang yang kaya. Tapi bukankah puisi – Pelesir Mimpi juga yang membuatku nantinya tetap bisa mengucap syukur dalam segala kemiskinanku? Tampaknya berhenti bekerja memang pekerjaan berat. Tapi aku letih dan tetap ingin berhenti menulis puisi. Karena kini, giliran puisi yang akan menuliskanku.

Ayah, Ibu, Adimas Immanuel

pelesir
Adimas Immanuel
Jakarta Selatan: Motion Publishing, 2013
x + 126 halaman, 13,5 cm x 21 cm
ISBN 978-602-95360-7-2
Cetakan Pertama, September 2013
Pemindai aksara:
Reni S. Umbara
Perancang sampul dan ilustrasi:
I.B.G. Wiraga
Penata letak:
Fitria Agustina
Motion Publishing
Jl. H. Mursid No. 10 Jagakarsa Jakarta Selatan
Telp./Faks.: (021) 7866214
Website: http://www.katabergerak.com
E-mail: katabergerak@gmail.com
Twitter: @katabergerak

Malam United, Kolaborasi Malam Puisi dan Musician United

Akan ada helatan di mana dua komunitas atau barangkali gerakan tepatnya berkolaborasi turut meramaikan di acara Social Media Festival yang akan diselenggarakan pada 14 Oktober nanti. Malam Puisi diprakarsai Bentara Bumi dan Musician United yang diracik Yogi, Sabtu malam tadi berembuk tentang apa yang akan dilakukan agar kolaborasi perdana nanti berjalan mulus. Maka baik konsep maupun teknis menjadi bahan perbincangan seru.

Musician United adalah kolaborasi beberapa musisi yang berawal dari twitter, dicetuskan oleh Yogi Natakusuma atau @SoundofYogi. Setiap bulannya mereka berkolaborasi menyanyikan lagu nasional. #MusicianUnited merupakan inisiatif para musisi dan pecinta musik Indonesia untuk kembali memperkenalkan budaya Indonesia yang hampir dilupakan di tengah gencarnya budaya asing terutama dalam dunia musik lewat jejaring sosial.

malam puisi music united

“Kita buat malam puisi dadakan yuk!” seru Bumi setelah rapat dianggap selesai. Gayung bersambut, malam puisi tak terencana sebelumnya ini berlangsung lumayan meriah. Pembacaan puisi diiringi gitarpun beberapa kali dilakukan. Tak hanya diiringi musik, kolaborasi lagu dan puisi dadakan ini lumayan mulus. Dan nyatanya latihan adalah pertunjukan. Di penghujung acara teman-teman Malam Puisi dan Musician United membuat puisi secara estafet:

Aku adalah pertanda
Mengerak dalam endap
Yang mencintai tanpa malu,
dan memujamu tanpa ragu

Aku adalah rahasia
Membayang di suatu masa
Tersimpan di dinding waktu;
masa depan yang kau tunggu

Aku adalah malam
Sedari tinta menemukan qalam
Sedari goresan menyampaikan salam

Kau adalah Tuhan
Tempat segala tuduhan ditadahkan
Menadah lelah, menadah jengah.

@bentarabumi @dikiumbara @ulansabit @elwa_ @einadame @raragoe @mgreantara @wickedbunnies @jemarimenari @dymsokei @glrhn @SoundOfYogi @ArieMacca

Malam Puisi & Musician United, Kedai Lentera 7 September 2013

Malam Puisi di Kedai Lentera

MalamPuisi

Kedai Lentera, 15 Juni 2013

Malam Puisi merupakan acara yang mengundang siapapun para pecinta puisi, atau yang suka menulis puisi, untuk berkumpul menikmati puisi. Pertama kali diadakan di Kopi Kultur Bali pada 27 April 2013. Digagas oleh Putu Nugraha Aditya, Bentara Bumi, Kirana Larasati, dan Ulan Octavia. Acara mendapat respon positif dan selanjutnya dilaksanakan di pelbagai kota lain, Jogjakarta dan kini Jakarta.

Berlokasi di Kedai Lentera, Malam Puisi diselenggarakan pada Sabtu 17 Juni 2013 dipandu oleh Lukman Simbah. Pembacaan puisi pertama oleh Barikatul Hikmah, dilanjut oleh Wulan Martina, Iman Permana, Andi K. Wahab, Ika Fitriana, Andi Fachri, Bhagavad Sambhada, Liana, Ivone, Dhyta Caturani, dan Diki Umbara. Tak hanya pembacaan puisi, Malam Puisi perdana ini juga ada musikalisasi puisi oleh Sasina UI. Menariknya lagi di ujung acara setiap yang hadir diminta untuk menulis puisi berantai secara spontan. Dan inilah kolaborasi puisinya:

Ini malam tak ada lagi rumpang, padahal kita barangkali tak saling kenal
Tak saling kenal nama, namun jiwa? Mungkin dulu kita pernah bersama?
Kenapa rindu kita tidak kembali. Pada dua pasang kata yang bertemu di titik itu
Kita adalah jiwa-jiwa tanpa nama yang bersama karena rasa.

Ya, ada rindu yang mengalun malu-malu. Lalu, semakin menggebu, meminta waktu berhenti pada temu yang tak semu
Tak ada batas dari katamu, kataku. Kita berbicara tanpa tema. Wajah kita adalah suara. Suara kita adalah kata
Malam dan rembulan kini tak pelak merelakan. Dari kenang yang membuat benang rajutan dalam setiap kata menjadi bendera cinta.
Ketika hujan sudah berganti malam dan kita bicara tentang malam yang kelam. Padahal sisa dingin dari hawa hujan msh menyimpan seulas senyuman.

Ketika semua orang gemar bercinta di dalam kamar, di atas ranjang, di pinggir pantai, di tenda kemah, di toilet umum
Kita selalu pikir itu biasa saja. Sebab kita gemar bercinta di balik layar, dengan jari-jari kita sendiri

Malam menelurkan puisi di dalam kepala. Telur itu menetas, lalu kepala mendikte bibir menyeruput kopi, mengisap rokok, dan melafalkan kata. Sang ibu malam berbangga dan menelurkan lagi rembulan di wajahnya
Aku asing di sini. Hanya ada bait-bait yang bertaut syahdu di malam sendu dengan syair yg menggebu, merdu
Duhai kekasih, aku ingin hilang dalam ramai, kekal di candu sepi, menjadi dekat paling erat, erat sekali.
Menjadi sunyi yang paling kau ingini dan kau hujani mimpi.

Mari kita bermimpi!

VIDEO: Dipukau Pulau di Landai Pantai


Dipukau Pulau di Landai Pantai
Toffan Ariefiadi

Engkau yang begitu kilau dipukau pulau

Sudah aku landaikan pantai di jantungmu
debarnya menghamburkan wangi asin ombak
ke butir bisu pasirmu, ke tegar ragu karangmu
tiada sanggup sejenak pun kau mengelak

Aku takkan mendebur di landai pantaimu

Sebab kau telah pukaukan pulau di dadaku
kilapnya menggaramkan luas ruasruas laut
mengubah tawar sabar jadi masin riakku
tiada mampu sedikit pun aku membantut

“Pengakuan” sebuah puisi Fitrawan Umar dibacakan Ria Irawan


Pengakuan
Fitrawan Umar

Sebetulnya, ada daun jatuh meluruh tepat di samping kita sore itu.
Setelah gemuruh hendak membunuh, dan kita sembunyi dalam lusuh

Hujan pun jatuh satu-satu
Detik dan detik menjelma air, jatuh menjadi ragu

Kita memang berada di bawah Samanea Saman yang sama
meneduh
Memandang hujan yang satu

Namun, kita menjelma ranting
Kering, seolah air lupa membasahi

Sebetulnya, ada daun jatuh meluruh di samping kita sore itu.
Kita melihatnya.

Hanya, kita lebih memilih berpikir mengapa daun terjatuh
Ketimbang memulai suatu cerita dari daun yang luruh itu

2012

Cara Terbaik Menyiapkan Makan Malam


Cara Terbaik Menyiapkan Makan Malam
Pringadi Abdi Surya

telah aku pesan meja, dekat jendela. pemandangan malam
penuh lautan nyala. ada redup yang akan terselip, “itulah
cintaku bila kau patahkan,” begitu bunyi sebuah bisikan.

aku tak menduga kau mengenakan gaun yang lembut.
katamu itu terbuat dari kabut. dan kita sama-sama samar
seperti masa depan. juga masa lalu yang kerap dirindukan.

di langit tak ada bulan, di gelas kita tak ada kenangan.
seorang pramusaji datang membawakan menu, biar aku
yang pesan. kemudian, aku memilih mana yang terbaik
buat bibirmu. kata-kata yang manis, sudah teramat bosan.

“apa ada hidangan yang tidak dibubuhi kebohongan?”

dasi kupu-kupu. musik masuk seperti tamu tak mengetuk
pintu. sambil menunggu, obrolan kita ngalor-ngidul, utara
-selatan, pendidikan yang amburadul, kebebasan yang
kebablasan. kau menolak politik. aku menampik ingatan.

dalam detik-detik yang tersisa itulah, aku memandangimu
dua kali lebih banyak. kau menunduk lebih nyenyak.
“adakah yang pernah menghitung waktu yang terhenyak?”

maka demi masa, aku tak akan merasa rugi. menu kita
yang belum datang, matamu mendadak kunang-kunang.
terbang mengitari meja kita yang bundar. pergi.

(2012)

VIDEO: “Perihal Perempuan-Perempuan Penyeduh Kopi”

Perihal Perempuan-Perempuan Penyeduh Kopi
Karya Faisal Odang

telah kucukupkan–kukecupkan segala ingatan yang menebar aroma kopi ke dalam kepalaku

pahit–membikin lelap enggan tandang ke segenap mimpi yang kusiapkan dari doa sebelum malam, dan aku membiarkan buih mengepul di ujung kantukmu, di sana, di gelas kopi yang mungkin telah menyesak di dapurmu. atau telah kaubersihkan dengan air mata sebelum lelaki itu memintamu menyeduh kopi untuknya.

aku maih menggenggam gelasku, yang bibirnya telah tipis–bergantian kita kecupi. aku tidak tahubagaimana sebuah kehilangan menyembunyikan diri di sebuah gelas kosong. barangkali yang lesap di sebalik seruputan adalah kemesraan, hanya menyisakan remah hitam. dan kita mengelam, disembunyikan setiap kecupan pada gelas kopi yang pecah.

kau tinggalkan gelas yang membeling itu di dapurku. kau tidak membersihkannya–membiarkan pahit merasuk hidung dan lidah, begitupula dadaku. kuseduh airmata yang tawar ke dalam gelas-gelas pecah, tanpa aroma kopi. dan kehilangan masih saja bersembunyi di sebalik gelas kosong yang pecah. seperti kepergian yang menyembunyikanmu.

bagiku kopi adalah sebaik-baiknya cinta yang mampu mengekalkan ingatan kepada segala, bahkan kepedihan. aku madih tidak paham apakah tuhan mengambil lidahku, ataukah tak ada lagi pahit dalam kopiku. sebab aku pun adalah hujan yang masih membasah kepadamu yang kemarau, dan menitipkan waktu di doa-doa yang gersang.

mungkin kopi di gelas lelakimu telah basi, bisa juga kian pahit. aku takkan memintamu menyeduh kopi untukku. dalam ingatanku engkau jelma hampa, setelah mata selalu terjaga–di dapurku gelas pecah telah binasa. aroma kopi meruap dari tangan perempuan yang menadah. ia mengenalkan diri sebagai penyeduh kopi yang tidak butuh gelas untuk menampung kesedihan. seduhlah kopi untuk lelakimu, sementara aku terjaga, mengaduk kopi di tangan perempuanku. dengan aroma kopi seperti aroma kecupanmu.

Catatan: Dibacakan Zarry Hendrik saat peluncuran buku puisi Merentang Pelukan di Coffee Toffee 13 Desember 2012

Agus Noor dan ‘Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan’ di Bandung

Setelah peluncuran perdana di Jakarta, lalu Bogor, Padang, Surabaya dan Yogyakarta, buku puisi ‘Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan’ dirayakan pula di Bandung. Acara diadakan 1 Desember 2012 mulai pukul 19.00 di Potluck Cafe, jl. H. Wasid no.31 (dekat Dipati Ukur). Dipandu MC sekaligus comic Andi Gunawan, menampilkan performing art, musikalisasi dan baca puisi oleh:

1. STUBA (studi teater UNISBA)
2. Shita K. L
3. Evi Sri Rezeki
4. Inti Nirmana
5. Adew Habtsa
6. Rizki N. Annisa
7. Rubi

Acara terbuka bagi siapa saja, gratis dan tanpa perlu reservasi.